Rabu, 24 Juli 2019

Sirah Sahabat




Julaibib, sahabat Nabi yang satu ini namanya tidak begitu populer. Wajahnya tidak tampan dan secara ekonomi ia juga tidak kaya. Namun, ia dipilih Allah untuk menikah dengan bidadari.

Pada suatu hari, Rasulullah bertanya kepada salah seorang sahabat. “Aku mau melamar putrimu, apakah engkau setuju?”

Siapa orang yang tidak mau putrinya dinikahi Rasulullah. Bahkan kata Syaikh Mahmud Al Mishri dalam buku sirah shahabat yang berjudul Ashaabur Rasul, sebelum menikahkan putrinya, para sahabat menghadap Rasulullah dengan harapan siapa tahu Rasulullah berkenan menikahinya.

“Tentu ya Rasulullah, dengan senang hati.”

“Tapi aku melamar putrimu bukan untukku.”

“Untuk siapa ya Rasulullah?” Sahabat itu mulai kepikiran. Jika bukan untuk Rasulullah, lalu untuk siapa? Kalau untuk sahabat ternama seperti Abu Bakar, Umar, Utsman atau Ali pasti banyak ayah senang putrinya menjadi istri sahabat Nabi terbaik. Kalau untuk Abdurrahman bin Auf, pasti banyak juga ayah yang senang putrinya menjadi istri sahabat ternama yang kaya raya.

“Untuk Julaibib.”

Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Kebetulan ia tahu Julaibib, seorang sahabat Nabi yang tidak punya dan wajahnya juga tidak tampan. “Kalau begitu aku musyawarahkan dengan keluargaku dulu ya Rasulullah.”

***

“Rasulullah melamar putri kita,” kata Sahabat itu kepada istrinya sesampainya di rumah.

“Alhamdulillah… betapa beruntungnya kita.”

“Tapi bukan untuk beliau.”

“Lalu untuk siapa?”

“Julaibib.”

“Kalau untuknya, aku tidak akan menikahkan putri kita.” Sang ibu mengkhawatirkan masa depan putrinya. Kekhawatiran yang wajar bagi orangtua, putrinya yang sangat cantik harus menikah dengan laki-laki yang tidak tampan dan tidak punya? Wajar ia khawatir dan tidak menyetujuinya.

“Ayah, ibu, apa yang kalian katakan? Apakah kalian akan menolak pinangan Rasulullah?” Putrinya yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka keluar dari kamarnya.

“Tapi bukan untuk Rasulullah. Untuk Julaibib.”

“Jika Rasulullah yang melamar, apakah Ayah dan Ibu akan menolak? Aku sekali-kali tidak akan menolaknya. Aku yakin Rasulullah tidak akan membuat kita sengsara.” Jawaban tegas gadis itu meluluhkan hati ayah bundanya.

***

Pernikahan dilangsungkan. Di malam harinya, sebelum Julaibib menikmati malam pertama dengan istri yang cantik jelita itu, seruan jihad menggema.

“Wahai para penunggang kuda, siapkan kuda kalian. Malam ini ada perang fi sabilillah!”
“Wahai para pemanah, siapkan panah kalian. Malam ini ada perang fi sabilillah!”

Mendengar seruan itu, ia langsung bergegas. Ia segera keluar rumah menyongsong panggilan jihad.

Ketika perang selesai, Rasulullah bertanya kepada para sahabat yang sedang mengevakuasi mujahid yang terluka dan para syuhada. “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Tidak ya Rasulullah. Semua sudah kita temukan.”

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Tidak ya Rasulullah. Semua pasukan sudah kembali, yang syahid sudah kita temukan.”

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” Pertanyaan itu sampai diulang tiga kali. “Aku kehilangan Julaibib.”

Mereka tidak terpikir nama itu. Setelah disebut oleh Rasulullah, baru mereka mencarinya dan mendapatkan Julaibib telah syahid. Di sekitar jasadnya ada tujuh mayat musuh. Para sahabat mendapatkan kesimpulan, Julaibib syahid setelah membunuh tujuh tentara kafir tersebut.

Lalu Rasulullah membopong jasad Julaibib dengan kedua tangan beliau. Ketika memakamkan, Rasulullah juga yang memasukkan jasadnya ke makam.

“Julaibib adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Julaibib,” Rasulullah mengulangi kalimat itu dua kali. Membuat banyak sahabat iri. Ternyata kedudukan Julaibib sangat istimewa di hadapan Rasulullah. Ia mati syahid dan dinyatakan bagian dari Rasulullah, yang tentu saja mendapat keutamaan besar termasuk dinikahkan dengan bidadari.

***

Kisah Julaibib ini setidaknya memberikan tiga ibrah untuk kita:

1. Allah tidak memandang fisik dan harta, namun amal dan hati

Julaibib tidak tampan juga tidak kaya. Namun, ia mulia dalam penilaian Allah dan RasulNya. Karena apa? Karena amal dan hatinya. Ia sahabat yang selalu berusaha membersamai Rasulullah dan membaktikan dirinya untuk Islam.

Ketika seruan jihad datang, ia segera bergegas untuk menyambutnya. Tanpa menunda, tanpa banyak alasan. Bahkan saat malam pertama, yang umumnya akan menjadi alasan udzur dari jihad, ia tetap bersegera berangkat ke medan jihad. Ia tinggalkan kesenangan duniawi menuju perintah Allah yang hakikatnya adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan harta kalian, namun Allah memandang hati dan amal-amal kalian” (HR. Muslim)

Baca juga: Ayat Kursi

2. Julaibib dan istrinya bergegas memenuhi seruan Allah dan RasulNya

Kisah ini mengajarkan kita untuk bergegas memenuhi seruan Allah dan RasulNya. Tidak menunda-nunda dan juga tidak mencari-cari pilihan lain ketika ada ketetapannya.

Istri Julaibib mencontohkan itu. Meskipun calon suaminya tidak tampan dan tidak kaya, yang bahkan orangtuanya ragu apakah ia akan bahagia hidup bersama suami seperti itu, ia langsung menerima karena yang melamarkannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ia benar-benar mengamalkan firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 36 yang menyebutkan karakter orang beriman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Tidak tidaklah patu bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Demikian pula Julaibib, begitu ada seruan jihad, ia langsung berangkat. Tidak ada pilihan lain baginya.

3. Lebih baik terkenal di langit daripada terkenal di bumi

Julaibib bukanlah sahabat ternama. Namanya tidak begitu populer bagi kita. Dan memang banyak sahabat yang tidak kita kenal, namun mereka terkenal di langit.

Saat Rasulullah wafat, ada sekitar 110.000 sahabat. Berapa di antara mereka yang kita kenal namanya?

Nama Julaibib tidak begitu populer. Dalam sejumlah kitab sirah sahabat, biografinya tidak dibahas. Misalnya dalam Rijal Haula Rasul yang ditulis oleh Syaikh Khalid Muhammad Khalid, tidak ada namanya di antara 60 sahabat yang beliau tulis. Pun dalam Shuwar Min Hayati Shahabat karya Syaikh Abdurrahman Raf’at Al Basya yang berisi 60 sirah shahabat, tidak ada nama Julaibib. Namanya baru kita dapati saat kita membaca sirah shahabat yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Al Mishri berjudul Ashabur Rasul. Pada jilid terakhir dari 104 nama sahabat, ada kisah Julaibib.

Para sahabat yang tidak merasa kehilangan Julaibib usai perang di atas juga menunjukkan bahwa ia tidak terlalu dikenal di kalangan mereka. Namun, ia terkenal di langit, populer di hadapan Allah hingga Rasulullah mempersaksikan, “Julaibib adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Julaibib.”

Habib Salim Segaf Al Jufri mengingatkan, lebih baik tidak terkenal di bumi namun terkenal di langit. Daripada terkenal di bumi namun tidak dikenal di langit. Namun yang ideal adalah populer di bumi dan populer di langit. Dikenal oleh banyak orang dan terkenal di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Muchlisin BK/BersamaDakwah] Share
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat membantu kami dalam mengembangkan dan mengelola blog kami

comment